Pages

Saturday, January 29, 2011

MEMOAR ISTERI TERTINDAS


Mendiskusikan wacana relasi gender akan terasa melelahkan sekaligus mengasyikkan. Melelahkan karena seakan-akan perbincangan ini tidak akan pernah mencapai titik akhir. Mengasyikkan karena kajian ini akan selalu memunculkan wacana dan perspektif baru dengan jargon yang terus berkembang, sehingga kita tidak pernah jenuh membahasnya.
Kondisi inilah kiranya yang dirasakan oleh Hani Naqshabandi, seorang pengarang, penyair sekaligus kolumnis dari Arab Saudi yang sehari-harinya bekerja sebagai pimpinan redaksi sebuah majalah keluarga berbahasa Arab Al-Sayyidati,  yang berkantor di London, untuk menyusun novel yang di angkat dari kisah nyata ini.
Memoar Sarah, sosok wanita yang mulai memasuki usia yang ke tiga puluh satu,  dalam novel ini bermula ketika ia membaca sebuah majalah perempuan dengan tema utama
“pengkhianatan keluarga” yang secara khusus membicarakan masyarakat Arab Saudi. Karena merasa tidak mendapatkan sesuatu yang semestinya ia dapatkan dari paparan dalam majalah tersebut serta dianggap belum mampu mewakili fenomena pengkhianatan keluarga dalam masyarakatnya, untuk kali pertama kemudian Sarah memutuskan untuk menulis surat kepada Hisyam, sang pimpinan redaksi majalah tersebut.
Surat pertama dan kedua Sarah masih murni berisi tanggapan atas tema pengkhianatan keluarga. Berlanjut kepada surat yang ketiga, Sarah mulai mengisahkan kehidupan pribadinya, kondisi keluarganya yang berbeda persepsi soal pemahaman agama, hingga saat di mana Sarah dilamar oleh Khalid, sosok yang oleh Sarah dianggap sebagai orang yang berbudaya dan terpelajar namun ternyata berperilaku sebaliknya.
Dari sini, surat-surat Sarah pun terus bergulir bak bola salju. Isi suratnya pun semakin bertambah panjang dan melebar karena selain mengisahkan kehidupan rumah tangganya yang gersang, Sarah juga menyingkap sisi terdalam jerit batin teman-temannya yang juga mengalami kegagalan dalam berkeluarga.
Selain disuguhi kisah hidup Sarah dan teman-temannya, novel ini juga menceritakan kisah cinta antara Hisyam dengan Isabel, mahasiswi kajian ketimuran yang sedang meneliti tentang seberapa besar pengaruh tradisi kebudayaan Arab-Timur kuno terhadap kebudayaan Timur modern. Hisyam, yang dalam berbagai tulisannya kerap membela perempuan, namun dalam kesehariannya ia digambarkan sebagai sosok lelaki mata keranjang yang suka mempermainkan wanita, termasuk Isabel dan juga Claudia, seorang wanita asal Italia yang juga menjadi kekasih Hisyam.
Salah satu kelebihan dari novel ini adalah kelihaian penulis dalam mengartikulasikan alur cerita di dalamnya yang seolah mengajak para pembacanya untuk mencuri ciuman, pandangan, dan senyuman yang penuh birahi dari orang lain. Tidak berlebihan kiranya jika novel ini saya anggap sebagai karya erotika. Dan jangan heran jika kemudian novel ini mengundang kontroversi di negeri asalnya. Berikut saya kutipkan salah satu bagian dari isi surat yang dikirimkan oleh Sarah kepada Hisyam:
Khalid kembali berbaring telanjang di bawah selimut,kemudian menagih haknya dengan gaya seperti pada malam sebelumnya. Lelaki yang bersikap lembut sebentar itu telah berubah menjadi seorang pedagang yang meminta barang yang sudah dibelinya.

Malam itu adalah malam tersulit bagiku. Aku tidak ingat apa-apa selain tindihan dan tekanan yang kuat, kemudian darah mengalir dari bagian tertentu tubuhku, padahal aku masih mengenakan baju katun. Aku tidak bisa menolak. Bersama selaput dara yang dirobeknya secara paksa dan kasar, kemanusiaanku juga ikut dirobek. Kehidupan masa lalu berakhir tragis dan kehidupan masa depan pun dimulai dengan tragis. Harapan dan impian hampir mendekati titik nadir. (hal. 275)
Di tempat lain, sang penulis juga mendeskripsikan rutinitas Sarah dengan kata-kata imajinasi yang menggairahkan: Sarah melemparkan tubuhnya ke atas ranjang sehingga kayu gaharu, yang tadi dibakar dengan bara apai, beterbangan ke mana-mana. Tiga perempat tubuhnya tersingkap hingga pangkal paha atas. Sarah merasakan cawan minuman menyentuh pipinya. Ia pun mengangkat kepala, lalu melihat sang kesatria yang hendak merangkak naik ke atas ranjang…Ia merasa bahwa sang kesatria sedang menyentuh tubuh telanjangnya. Tak lama, Sarah pun mencapai puncak orgasme. (hal. 447)
Kelebihan lain yang sekaligus menjadi kelemahan dari karya ini adalah isi novel yang lebih banyak menggunakan corak naratif yang dituangkan dalam bentuk surat-menyurat yang mana di satu sisi seolah pembaca yang menerima surat langsung sekaligus menjadi pihak yang diajak curhat dari sosok Sarah, namun di sisi lain juga akan menjadikan pembacanya cepat bosan ketika menikmati novel ini sebagai efek dari corak penulisan naratif yang meminimalisir adanya dialog dalam setiap bagiannya.
Dengan demikian, sejatinya keberadaan novel Perempuan Terpasung ini menegaskan kembali bahwa tradisi penguburan hidup-hidup perempuan yang pernah terjadi pada perempuan-perempuan Arab sebelum kehadiran Islam masih tetap ada hingga saat ini. Ya, penguburan hidup perempuan pada zaman modern di liang kubur adat kebiasaan dan tradisi-tradisi masa lalu.
Membaca karya Hani Naqshabandi ini, seolah kita diingatkan pada apa yang pernah diungkapkan oleh Fatima Mernissi dalam salah satu karyanya bahwa: “Jika hak-hak wanita merupakan masalah bagi sebagian kaum lelaki muslim modern, hal itu bukanlah karena al Qur’an ataupun nabi, bukan pula karena tradisi Islam, melainkan semata-mata karena hak-hak tersebut bertentangan dengan kepentingan kaum elit laki-laki.” Atau mungkin juga ‘dipaksa’ mengakui apa yang sempat dilontarkan oleh Simon de Beauvoir bahwa kaum perempuan adalah makhluk ‘the second sex’.

Akhirnya, selamat membaca dan bercermin dari jeritan batin para perempuan Muslim Arab Saudi! Semoga mampu memberi inspirasi.
Peresensi : Abdul Kholiq
* Pustakawan dan alumnus Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
======================================
Detail Buku
Judul Buku : Perempuan Terpasung: Gejolak Cinta di Balik Cadar
Penulis        : Hani Naqshabandi
Penerjemah : Taufiq Damas
Penerbit       : Serambi Ilmu Semesta, Jakarta
Tebal           : 478 Halaman
Cetakan I    : Agustus 2010
Harga          : Rp. 47.200,-

No comments:

Post a Comment

Note: Only a member of this blog may post a comment.