Pages

Thursday, May 10, 2012

Kisah sebatang Kayu

Salah satu gambaran yang dapat dijadikan pelajaran adalah apa yang diceritakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang dua orang Bani Israil di zaman dahulu. Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari secara mu’allaq dalam Shahih-nya dan Al- Ahmad dalam Musnad-nya dari hadits Abu Hurairah, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
أَنَّهُ ذَكَرَ رَجُلاً مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ سَأَلَ بَعْضَ بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنْ يُسْلِفَهُ أَلْفَ دِينَارٍ، فَقَالَ :ائْتِنِي بِالشُّهَدَاءِ أُشْهِدُهُمْ. فَقَالَ: كَفَى بِاللهِ شَهِيدًا. قَالَ: فَأْتِنِي بِالْكَفِيلِ. قَالَ: كَفَى بِاللهِ كَفِيلاً. قَالَ: صَدَقْتَ. فَدَفَعَهَا إِلَيْهِ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَخَرَجَ فِي الْبَحْرِ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ الْتَمَسَ مَرْكَبًا يَرْكَبُهَا يَقْدَمُ عَلَيْهِ لِلْأَجَلِ الَّذِي أَجَّلَهُ فَلَمْ يَجِدْ مَرْكَبًا، فَأَخَذَ خَشَبَةً فَنَقَرَهَا فَأَدْخَلَ فِيهَا أَلْفَ دِينَارٍ وَصَحِيفَةً مِنْهُ إِلَى صَاحِبِهِ ثُمَّ زَجَّجَ مَوْضِعَهَا ثُمَّ أَتَى بِهَا إِلَى الْبَحْرِ، فَقَالَ: اللَّهُمَّ إِنَّكَ تَعْلَمُ أَنِّي كُنْتُ تَسَلَّفْتُ فُلَانًا أَلْفَ دِينَارٍ فَسَأَلَنِي كَفِيلاً فَقُلْتُ كَفَى بِاللهِ كَفِيلاً، فَرَضِيَ بِكَ وَسَأَلَنِي شَهِيدًا فَقُلْتُ كَفَى بِاللهِ شَهِيدًا فَرَضِيَ بِكَ، وَأَنِّي جَهَدْتُ أَنْ أَجِدَ مَرْكَبًا أَبْعَثُ إِلَيْهِ الَّذِي لَهُ فَلَمْ أَقْدِرْ وَإِنِّي أَسْتَوْدِعُكَهَا. فَرَمَى بِهَا فِي الْبَحْرِ حَتَّى وَلَجَتْ فِيهِ ثُمَّ انْصَرَفَ وَهُوَ فِي ذَلِكَ يَلْتَمِسُ مَرْكَبًا يَخْرُجُ إِلَى بَلَدِهِ. فَخَرَجَ الرَّجُلُ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ يَنْظُرُ لَعَلَّ مَرْكَبًا قَدْ جَاءَ بِمَالِهِ فَإِذَا بِالْخَشَبَةِ الَّتِي فِيهَا الْمَالُ فَأَخَذَهَا لِأَهْلِهِ حَطَبًا، فَلَمَّا نَشَرَهَا وَجَدَ الْمَالَ وَالصَّحِيفَةَ ثُمَّ قَدِمَ الَّذِي كَانَ أَسْلَفَهُ، فَأَتَى بِاْلأَلْفِ دِينَارٍ فَقَالَ: وَاللهِ، مَا زِلْتُ جَاهِدًا فِي طَلَبِ مَرْكَبٍ لِآتِيَكَ بِمَالِكَ فَمَا وَجَدْتُ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي أَتَيْتُ فِيهِ. قَالَ: هَلْ كُنْتَ بَعَثْتَ إِلَيَّ بِشَيْءٍ؟ قَالَ: أُخْبِرُكَ أَنِّي لَمْ أَجِدْ مَرْكَبًا قَبْلَ الَّذِي جِئْتُ فِيهِ. قَالَ: فَإِنَّ اللهَ قَدْ أَدَّى عَنْكَ الَّذِي بَعَثْتَ فِي الْخَشَبَةِ فَانْصَرِفْ بِاْلأَلْفِ الدِّينَارِ رَاشِدًا
Beliau (shallallahu ‘alaihi wa sallam) menyebut-nyebut seorang laki-laki Bani Israil yang meminta kepada seseorang dari Bani Israil lainnya agar meminjaminya seribu dinar. Maka berkatalah si pemilik uang, “Datangkan saksi untukku, agar aku persaksikan kepada mereka.”
Laki-laki yang meminjam itu berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksi.”
Si pemilik uang berkata lagi, “Berikan untukku yang menjamin.”
Orang yang meminjam berkata, “Cukuplah Allah sebagai Penjamin.”

Si pemilik uang pun berkata, “Engkau benar.” Lalu dia menyerahkan uang itu sampai waktu yang telah ditentukan.
Kemudian, si peminjam berlayar dan menyelesaikan urusannya. Setelah itu dia mencari angkutan yang akan membawanya kepada temannya karena waktu yang telah ditentukan. Namun, dia tidak mendapatkannya. Akhirnya dia mengambil sebatang kayu lalu melubanginya dan memasukkan seribu dinar itu ke dalamnya disertai sehelai surat kepada sahabatnya. Kemudian dia perbaiki pecahan lubang, lalu dibawanya kayu itu ke laut. Diapun berdoa, “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pernah meminjam dari si Fulan seribu dinar, lalu dia minta jaminan, maka aku katakan, ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin’ dan diapun ridha Engkau sebagai Penjamin. Diapun minta kepadaku saksi, lalu aku katakan: ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’, dan diapun meridhainya. Sesungguhnya aku sudah berusaha sungguh-sungguh mencari kendaraan menyerahkan hak ini kepadanya, namun aku tidak kuasa. Dan saya titipkan uang ini kepada Engkau.”
Si laki-laki itu melemparkan kayu itu hingga masuk ke laut. Kemudian dia pulang dalam keadaan tetap mencari kendaraan untuk menuju negeri sahabatnya.
Sementara orang yang meminjamkan uang itu keluar menunggu-nunggu, barangkali ada kendaraan yang membawa hartanya. Ternyata dia hanya menemukan sepotong kayu yang di dalamnya ada harta. Diapun mengambil kayu itu sebagai kayu bakar keluarganya. Setelah dia menggergaji kayu itu, dia dapatkan harta dan sehelai surat.
Kemudian, datanglah orang yang dahulu dipinjaminya uang. Orang itu datang membawa seribu dinar. Dia berkata, “Demi Allah, saya selalu berusaha mencari kendaraan untuk menemui engkau dengan membawa hartamu ini. Tapi saya tidak mendapatkan satu kendaraanpun sebelum saya datang ini.”
Si pemilik uang berkata, “Apakah engkau pernah mengirimi saya sesuatu?”
Kata si peminjam itu, “Saya terangkan kepadamu, bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang ini.”
Laki-laki pemilik uang itu berkata lagi, “Sesungguhnya Allah telah menunaikan hutangmu, (dengan) harta yang engkau kirimkan dalam sebatang kayu. Silakan kembali dengan seribu dinar itu dengan selamat.”
Perhatikanlah kata-kata si peminjam. Dengan penuh keyakinan dia mengatakan, “Cukuplah Allah sebagai saksi.” Seolah-olah dia hendak mengingatkan saudaranya, bukankah tidak ada satupun yang tersembunyi bagi Allah? Dia Mahatahu segala sesuatu yang tampak maupun yang tersembunyi. Maha Menyaksikan segala sesuatu. Dia Menyaksikan keadaan dan perbuatan kita.
Kemudian, simaklah apa yang dikatakan si pemilik uang? Sangsikah dia?
Tidak. Dengan tegas pula dia menerima. Seolah-olah dia hendak menyatakan, bahwa dia menerima Allah sebagai saksi, tapi, “Berikan untukku yang menjamin”, yang akan menjamin harta ini, kalau engkau tidak datang melunasinya.
Laki-laki yang hatinya dipenuhi ta’zhim kepada Allah itu dengan keyakinan penuh kembali mengatakan, “Cukuplah Allah sebagai Penjamin”, seakan dia ingin mengingatkan kembali saudaranya: tidak cukupkah bagimu Allah Rabb semesta alam, Yang Menguasai langit dan bumi sebagai Penjamin bagiku?
Pemilik harta yang hatinya juga berisi ta’zhim kepada Allah Ta’ala ini spontan menerima. Kemudian diapun menyerahkan seribu dinar yang diinginkan saudaranya sampai pada waktu yang telah disepakati.
Setelah itu, berangkatlah laki-laki yang meminjam ini berlayar, memenuhi kebutuhannya. Ketika tiba waktu yang dijanjikan, diapun mencari kapal untuk menemui saudaranya, demi memenuhi janjinya. Sekian lama mencari, dia tak kunjung mendapatkan kapal yang membawanya ke negeri saudaranya.
Waktu semakin dekat, angkutan kapal belum juga dia dapatkan. Putus asakah dia, lalu meminta uzur? Ternyata tidak, dia tetap berusaha.
Kesungguhannya untuk menunaikan amanah, dilihat oleh Allah. Sehingga Allah Ta’ala kirimkan kepadanya sepotong kayu yang hanyut dibawa gelombang. Melihat kayu itu, dia segera mengambilnya dan melubanginya. Kemudian seribu dinar milik saudaranya, dia masukkan ke dalam kayu itu disertai sepucuk surat, lalu dia perbaiki.
Kemudian, dia bersimpuh, berbisik di hadapan Rabbnya Yang Mahatahu lagi Maha Mendengar, “Ya Allah. Sesungguhnya Engkau tahu bahwa aku pernah meminjam dari si Fulan seribu dinar, lalu dia minta penjamin, maka aku katakan, ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin’ dan diapun ridha Engkau sebagai Penjamin. Diapun minta kepadaku saksi, lalu aku katakan, ‘Cukuplah Allah sebagai saksi’,  dan diapun meridhainya. Sesungguhnya aku sudah berusaha sungguh-sungguh mencari kapal menyerahkan hak ini kepadanya, namun aku tidak kuasa. Dan saya titipkan uang ini kepada Engkau.”
Setelah selesai, kayu itu dilemparkannya kembali ke laut. Kayupun hanyut bersama gelombang.
Perhatikanlah doa dan apa yang dilakukannya. Betapa tebal keyakinan dan kepercayaannya kepada Allah Ta’ala. Salah satu buah dari tauhid yang sempurna.
Kemudian, apakah dia berpangku tangan, merasa sudah cukup dengan tindakan itu? Belum. Dia tetap berusaha mencari kapal. Ingin berangkat sendiri menemui saudaranya guna melunasi pinjamannya.
Mengapa dia lakukan demikian? Tidak lain, karena khawatir dia menodai kemuliaan Allah yang telah dia jadikan sebagai saksi dan Penjamin.
Sementara sahabatnya, yang dipinjami, menunggu kedatangannya. Di tepi  pantai dia melihat ke laut lepas, mudah-mudahan ada kapal yang datang ke daerahnya. Harap-harap cemas muncul. Ternyata tak ada satupun kapal yang berlabuh. Tapi dia tidak berburuk sangka kepada saudaranya. Mereka telah sepakat Allah menjadi Saksi dan Penjamin.
Ketika dia mendekat ke pantai, dia melihat sepotong kayu hanyut ke tepi tempat dia berdiri. Diapun memungut kayu itu dan membawanya pulang untuk jadi kayu bakar bagi keluarganya.
Begitu tiba di rumah, dia memotong kayu itu. Ternyata di dalamnya dia lihat uang seribu dinar dan sepucuk surat. Kiranya uang itulah yang ditunggunya, dan surat itu adalah pengganti saudaranya yang tak kunjung hadir.
Tak lama, datanglah saudaranya yang meminjam uang seribu dinar, dalam keadaan membawa seribu dinar lainnya sebagai ganti, khawatir kalau-kalau uang itu belum sampai di tangan saudaranya. Ketika dia bermaksud menyerahkan seribu dinar itu, saudaranya yang meminjamkan harta itu bertanya, “Apakah engkau pernah mengirimi saya sesuatu?” Laki-laki yang meminjam itu berkata, “Saya terangkan kepadamu, bahwa saya tidak menemukan kendaraan sebelum saya datang ini.”
Kata si pemilik harta, “Sesungguhnya Allah telah menunaikan hutangmu, (dengan) harta yang engkau kirimkan dalam sebatang kayu. Silakan kembali,  dengan seribu dinar itu dengan selamat.”
Sebuah kisah yang menakjubkan. Betapa tidak. Di saat kebanyakan manusia lupa dengan amanah yang dipikulnya, menelantarkan hak yang wajib ditunaikannya, kisah ini menjadi pelajaran sekaligus peringatan bagi orang-orang yang mau memperbaiki dirinya.
Alangkah langkanya amanah ini di zaman kita.
Seandainya dikatakan kepada diri kita atau orang lain, “Lakukanlah seperti ini”, sebagai upaya menunjukkan kesungguhan dalam menunaikan amanah, mungkin kita akan sama membantah: “Apa kamu kira saya gila, meletakkan uang dalam lubang kayu, lalu dihanyutkan ke laut? Apalagi seribu dinar?” [Hitungan kurs sekarang mungkin ratusan juta rupiah. Wallahu a'lam.]
Mengapa?
Karena lemahnya keyakinan dalam hati kita, begitu pula iman dalam jiwa kita, sehingga penyandaran kepada materi dan hal-hal yang bersifat riil (nyata, tertangkap panca indera) lebih dominan dalam diri kita daripada kepada hal-hal yang bersifat ghaib. Padahal sebetulnya, keimanan terhadap yang ghaib adalah batasan yang tegas dan pembeda antara keimanan seorang muslim dengan keimanan seorang yang kafir.
Di antara faidah hadits ini:
1. Ilmu tentang Tauhidullah, di mana kedua lelaki ini sama-sama mengetahui Tauhidullah sehingga mendorong keduanya naik ke derajat paling tinggi dalam Ilmu Tauhid, yaitu ma’rifatullah Ta’ala (pengenalan terhadap Allah) melalui nama dan sifat-Nya. Si peminjam berkata, “Cukuplah Allah sebagai saksi… cukuplah Allah sebagai Penjamin.”
2. Lelaki yang mengatakan, “Cukuplah Allah sebagai saksi… cukuplah Allah sebagai Penjamin.” adalah orang yang shalih. Artinya dia seorang yang ikhlas kepada Allah, mengikuti ajaran Nabi-Nya dalam menaati Allah Ta’ala. Begitu pula dengan si pemilik harta, dia ridha dengan ganjaran dan pahala dari Allah, merasa puas dengan kesaksian Allah dan jaminan-Nya.
3. Khasy-yah (rasa takut) kepada Allah Ta’ala dan ma’rifat yang sempurna tentang Allah Ta’ala mendorong lelaki shalih yang meminjam harta ini memikirkan jalan, bagaimana caranya harta itu sampai di tangan saudaranya karena janji yang telah disepakati.
4. Rasa puasnya dengan tawakal kepada Allah Ta’ala, sementara hal ini sulit ditemukan pada kebanyakan manusia pada hari ini karena lemahnya iman dan jahilnya mereka tentang nama dan sifat Allah Ta’ala.
5. Allah sendiri yang memelihara batang kayu itu, karena tersebut beramal dengan ucapan para Nabi, “Jagalah Allah, niscaya Dia pasti menjagamu.
6. Namun demikian, laki-laki shalih ini tetap menjalankan sebab dengan membawa seribu dinar lain untuk sahabatnya.
7. Dalam hutang piutang dan pinjam meminjam, saksi dan jaminan termasuk hal-hal yang disyariatkan.
8. Wajibnya melunasi pinjaman, menepati janji dan tidak menunda-nunda (bila mampu).
Mudah-mudahan kisah singkat ini, menjadi cermin dan teladan bagi orang-orang yang ingin hidupnya berbahagia.

Menjadi Pengemis Demi ilmu

Imam baqi Bin Makhlad Al-Andalusi menyamar sebagai pengemis untuk mendengarkan ilmu dari Ahmad bin Hanbal  rahimahullah.
Ini adalah lain, termasuk yang unik lagi menarik, yang terjadi pada diri seorang alim daerah Maghrib, dari kalangan ulama yang melakukan perjalanan dari Maghrib Aqsha ke arah timur. Seorang alim daerah Maghribi ini bepergian ke timur untuk menemui salah seorang Imam dan mengambil ilmu darinya. Namun, saat ia sampai kepadanya, ia mendapatinya sedang di isolir dan di cekal , tidak boleh menemui manusia. Maka, dia membuta taktik dan cara unik, sehingga dia bisa bertemu dengannya dan mengambil ilmu darinya. Cara yang mungkin tak pernah terbayangkan, kalau seandainya itu tidak terjadi. Dan, sejarah adalah bapaknya keajaiban dan keunikan.
Tercantum di dalam Al-Manhajul Ahmad fi Tarajim Ashhabil Imam Ahmad, karya Al-Ulaimi, I: 177; dan dalam Ikhtisarun Nablusi li Thabaqatil Hanabilah, karya Ibnu Ya’la, hal.79, tentang biografi Imam Baqi bin Makhlad Al-Andalusi. Dia adalah Abu Abdurrahman Baqi bin Makhlad Al-Andalusi Al-Hafidz, lahir tahun 201 H. Dia melakukan perjalan ke Baghdad dengan kedua kakinya. Keinginan besarnya adalah bertemu dengan imam Ahmad bin Hanbal dan mengambil ilmu darinya.
Dikisahkan darinya, bahwa ia berkata, ‘Ketika aku hampir tiba di Baghdad, aku mendengar berita ujian yang menimpa Ahmad bin Hanbal. Dan, ia pun dilarang berkumpul dan mendengarkan ilmu dari beliau. Aku sangat sedih karenanya, lalu aku pun memilih tempat untuk singgah. Setelah aku letakkan barang bawaanku di kamar yang aku kontrak di sebuah penginapan, maka aku tidak melakukan apapun selain mendatangi masjid jami’ yang besar. Aku ingin duduk bersama halaqah-halaqah yang ada, dan mendengarkan apa yang mereka bicarakan.
Aku mendatangi sebuah halaqah yang mulia, ternyata ada seorang laki-laki yang membeberkan keadaan para perawi, dia men-dha’if-kannya dan menguatkan mereka. Aku bertanya kepada orang yang berada di dekatku, ‘Siapa dia?’ Dia menjawab, ‘Yahya bin Ma’in.’ Maka, aku melihat celah yang terbuka di dekatnya. Aku bergegas mendekat kepadanya, seraya berkata, ‘Wahai Abu Zakariya, semoga Allah merahmatimu. Aku adalah seorang laki-laki perantau, yang negerinya jauh. Aku ingin bertanya, mohon jangan meremehkanku.’ Dia berkata kepadaku, ‘Katakanlah.’ Maka, aku bertanya kepadanya tentang sebagian ahli hadits yang aku temui. Dia merekomendasikan baik sebagian dari mereka, dan merekomendasikan cacat sebagaian yang lainnya.

Di akhir pertanyaan, aku bertanya kepadanya tentang Hisyam bin Ammar, aku sendiri banyak mengambil ilmu darinya. Yahya berkata, ‘Abul Walid Hisyam bin Ammar, ahli shalat dari Damaskus, tsiqah bahakan di atas tsiqah. Dan, kalau pun di balik pakaiannya terdapat kesombongan atau dia menenteng kesombongan, maka itu tidak berpengaruh apa pun terhadapnya, karena kebaikan dan kemuliannya.’ Maka, orang-orang yang berada di halaqah berteriak, ‘Cukup bagimu, semoga Allah merahmatmu, yang lainnnya juga memiliki pertanyaan.’
Akupun berkata sambil berdiri, ‘ Aku bertanya kepadamu tentang seorang laki-laki, Ahmad bin Hanbal?’ Maka, Yahya bin Ma’in memandangku heran, dia berkata kepadaku, ‘Orang seperti kita membeberkan Ahmad bin Hanbal? Dia adalah Imam kamum muslimin, orang terbaik dan termulia dari mereka.’
Aku pun keluar menecari tahu rumah Ahmad bin Hanbal. Kemudian,ada orang menunjukkan diriku. Aku mengetuk pintu rumahnya. Dia pun keluar dan membuka pintu. Dia melihat laki-laki yang belum dikenalnya. Aku berkata, ‘Wahai Abu Abdillah, inilah seorang laki-laki perantau, yang negerinya jauh. Ini adalah kedatanganku pertama kali di negeri ini. Aku pencari hadits dan pengumpul sunnah. Aku tidak melakukan perjalanan, kecuali hanya kepadamu.’ Dia berkata kepadaku, ‘Masuklah lorong itu, dan jangan sampai terlihat oleh seorang pun.’
Dia bertanya kepadaku, ‘Di mana negerimu?’ Aku menjawab, ‘Daerah Maghrib yang jauh.’ Dia bertanya kepadaku, ‘Afrika?’ Aku menjawab, ‘Lebih jauh lagi. Aku menyeberangi lautan untuk tiba di Afrika. Negeriku Andalus.’ Dia berkata, ‘Negerimu benar-benar jauh. Tidak ada sesuatu yang lebih aku sukai daripada membantu orang sepertimu dengan baik, untuk mewujudkan keinginannya. Hanya saja, saat ini aku sedang menghadapi ujian dengan sesuatu yang mungkin kamu telah mendengarkannya.’ Aku berkata, ‘Benar, aku telah mendengarkannya, saat aku berjalan ingin menemuimu dan hampir tiba di sini.’
Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Abu Abdillah, ini adalah kedatanganku yang pertama kali. Aku adalah orang yang tidak di kenal di kalangan kalian. Jika Anda berkenan, aku akan datang setiap hari dengan menyamar sebagai peminta-minta. Di depan pintu, aku akan mengucapkan apa yang sering diucapkan para pengemis. Lalu, Anda keluar ke tempat ini. Seandainya Anda tidak menyampaikan setiap hari kecuali hanya satu hadits saja, maka itu sudah cukup bagiku.’ Dia menjawab, ‘Ya, dengan syarat kamu jangan muncul di halaqah-halaqah, dan tidak pula kepada para ahli hadits.’ Aku menjawab, ‘Aku janji.’
Pada hari berikutnya, akau mengambil ranting pohon dengan tanganku, kemudian membebat kepalaku dengan kain. Kertas dan tinta aku sembunyikan di balik lengan bajuku. Lalu, aku mendatanginya pintunya sambil teriak, ‘Pahala, semoga Allah merahmati kalian.’ Begitulah yang diterikkan oleh para peminta-minta di sana. Maka, dia keluar kepadaku dan menutup pintu. Dia menyampaikan dua, tiga hadits atau lebih kepadaku.
Aku terus melakukan hal itu sampai orang yang menimpakan ujian kepadanya telah mati. Setelah itu, kepemimpinan di ambil alih oleh orang yang berpegang kepada madzhab ahlussunnah. Maka, Ahmad bin Hanbal kembali muncul, namanya naik daun. Dia dihormati di mata manusia, ketokohannya terkenal, orang-orang berduyun-duyun mendatanginya. Dan, dia semakin mengetahui kesabaranku yang sebenarnya. Jika aku mendatangi halaqahnya, dia melapangkannya untukku dan mendekatkanku kepada dirinya. Dia berkata kepada para ahli hadits, ‘Orang ini berhak menyandang predikat sebagai pencari ilmu.’ Kemudian, dia menceritakan kisahku bersamanya. Dia menyodorkan hadits kepadaku, membacakannya untukku, dan aku membacakannya kepadanya.
Suatu ketika, aku jatuh sakit. Aku berusaha untuk segera sembuh. Imam Ahmad bin Hanbal mencariku, karena aku tidak hadir di majelisnya. Dia bertanya tentang diriku, dan ada yang memberi tahu perihal sakitku kepadanya. Maka, dia langsung berdiri, berjalan untuk menjengukku bersama orang banyak. Saat itu, aku terlentang di kamar yang aku sewa, beralaskan tikar, berselimut kain dan buku-buku yang ada di kepalaku.
Aku mendengar suara gaduh di penginapanku. Aku mendengar mereka berkata, ‘Dia di sana. Lihatlah ini imam kaum muslimin datang.’ Pemilik penginapan pun datang kepadaku dengan tergopoh-gopoh. Dia berkata kepadaku, ‘Wahai Abu Abdirrahman, ini Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal, imam kaum muslimin datang menjengukmu.’
Imam Ahmad segera masuk. Dia duduk di sisi kepalaku. Kamar tersebut penuh sesak dengan orang-orang sampai tidak muat. Sebagian dari mereka berada di luar kamar dengan berdiri, sementara tergenggam pena di tangan mereka. Imam Ahmad tidak mengatakan kepadaku melebihi dari kata-kata ini. Dia berkata, ‘Wahai Abu Abdirrahman, berbahagialah dengan pahala Allah. Engkau telah menjalani hari-hari sehat, yang tidak ada sakit padanya. Dan, engkau sekarang sedang menjalani hari-hari sakit, yang tidaj ada sehat padanya. Semoga Allah meninggikanmu kepada keselamatan, dan mengusapkan kesembuhan kepadamu dengan tangan kanan-Nya.’ Aku melihat pena-pena menulis lafazh yang Imam Ahmad ucapkan.
Kemudian, dia keluar meninggalkanku. Maka, penghuni penginapan berbondong-bondong mndatangiku, mengasihiku, dan melayaniku dengan pamrih agama dan ingin mendapatkan pahala dari Allah. Ada yang membawakan kasur, ada yang membawakan selimut dan makanan-makanan yang lezat. Dalam merawat diriku yang sedang sakit, mereka lebih perhatian daripada keluargaku, seandainya kau berada di tengah-tengah mereka. Hal itu karena aku telah di jenguk oleh seorang laki-laki shalih.
Baqi bin Makhlad wafat pada yahun 276 H. di Andalusia. Semoga Allah merahamatinya.
Sumber: Dahsyatnya Kesabaran Para Ulama, Syaikh Abdul Fatah,  Zam-Zam Mata Air Ilmu, 2008
Judul asli: Shafahat min Shabril ‘Ulama’, Syaikh Abdul Fatah, Maktab Al-Mathbu’at Al-Islamiyyah cet. 1394 H./1974 M.

kekeliruan yang terjadi saat ini,cinta ibadah tetapi kurang mencintai ilmu

Ada satu kekeliruan umum yang saat ini terjadi di tengah-tengah kaum muslimin; cinta ibadah tapi kurang mencintai ilmu. Kita sering menyaksikan kaum muslimin berbondong-bondong beribadah, berzikir, mengerjakan shalat sunnah berjamaah, atau bershalawat, tetapi tidak untuk hadir ke majlis ilmu. Ada anggapan beribadah lebih besar nilainya dibandingkan duduk untuk mendapatkan satu atau dua bab ilmu.
Padahal, di hadapan Allah Ta’ala ternyata ada perbedaan derajat antara golongan yang berilmu dan yang tidak berilmu. FirmanNya:
“Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.” (QS. az-Zumar [39]: 9).
Abu Hurairah dan Abu Dzar Al Ghiffari – semoga Allah meridloi keduanya -- pernah berkata, “Mempelajari satu bab ilmu lebih aku sukai daripada shalat sunnah sebanyak seribu rakaat.”
Sedangkan Umar bin Khaththab juga pernah berkata,